RUU Penyiaran Didorong Jadi Pilar Literasi Digital Nasional

oleh -7 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Puteri Fajrina )*

Dalam pusaran arus informasi yang bergerak semakin cepat di era digital, revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) hadir sebagai respons negara dalam menata ulang sistem penyiaran nasional yang sudah ketinggalan zaman. Tayangan televisi dan radio tidak lagi menjadi satu-satunya penopang informasi publik. Masyarakat kini lebih banyak mengonsumsi informasi melalui platform digital dan layanan streaming over the top (OTT), seperti YouTube, TikTok, hingga Netflix. Fenomena ini menuntut regulasi yang adaptif dan progresif agar ekosistem digital tetap sehat, produktif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.

banner 336x280

RUU Penyiaran merupakan jawaban atas kebutuhan zaman. Pemerintah dan DPR RI, khususnya Komisi I, menunjukkan komitmen serius dalam memperbarui regulasi penyiaran agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan perilaku konsumsi media masyarakat. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menegaskan bahwa RUU ini telah mengalami perubahan substansi hingga tiga kali, sebagai bentuk kehati-hatian dan upaya penyesuaian terhadap regulasi induk seperti UU Cipta Kerja. Hal ini mencerminkan kesungguhan negara dalam menyusun payung hukum yang benar-benar komprehensif, inklusif, dan menjawab tantangan masa depan.

Salah satu substansi penting dalam revisi ini adalah pengaturan terhadap OTT dan platform digital. UU Penyiaran sebelumnya hanya mengatur penyiaran analog, sementara dominasi konten digital tidak bisa lagi diabaikan. Oleh karena itu, langkah untuk memperluas cakupan regulasi ke media digital merupakan keniscayaan. Komisi I tengah mengkaji apakah regulasi OTT perlu dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran atau justru dibuatkan undang-undang tersendiri. Pendekatan ini menunjukkan keseriusan legislatif dalam memastikan regulasi tidak hanya bersifat administratif, namun juga efektif dalam mengatur ruang digital yang semakin kompleks.

RUU Penyiaran tidak hanya sekadar regulasi teknis, namun juga memiliki visi yang lebih besar, yakni menjadikannya sebagai fondasi literasi digital nasional. Dalam lanskap digital yang didominasi oleh algoritma, masyarakat kerap menjadi korban informasi yang bias, hoaks, atau bahkan ekstrem. Maka dari itu, kehadiran regulasi yang mampu melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dan kelompok rentan, dari paparan konten negatif menjadi sangat krusial.

Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini, mengusulkan agar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan untuk mengakses sistem rekomendasi konten digital atau algoritma dari platform seperti YouTube, Meta, TikTok, dan lainnya. Langkah ini bukan bentuk intervensi terhadap teknologi, melainkan upaya preventif untuk menjaga ruang digital Indonesia tetap sehat, adil, dan sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. Negara-negara maju seperti Kanada, Prancis, Singapura, dan Turki bahkan telah lebih dahulu menerapkan pengawasan serupa terhadap algoritma digital.

RUU ini juga menempatkan literasi media sebagai pilar utama dalam transformasi digital nasional. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera Utara, Porman Mahulae, menilai bahwa revisi UU Penyiaran ini harus dijadikan momentum untuk memperkuat pemahaman kritis masyarakat terhadap media. Literasi digital yang kuat akan membuat masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh konten palsu, mampu memilah informasi yang kredibel, serta mendorong budaya digital yang bertanggung jawab.

Transformasi penyiaran juga harus diarahkan untuk menjaga keberagaman dan jati diri bangsa. Dalam hal ini, algoritma media digital seyogianya berpihak pada konten lokal yang mencerminkan budaya dan tradisi Indonesia. Contoh viralnya tradisi Pacu Jalur di media sosial merupakan bukti bahwa algoritma bisa menjadi alat untuk memperkuat budaya lokal jika diatur dengan bijak. Namun, kejadian semacam ini masih menjadi pengecualian, bukan kebijakan sistematis. Maka dari itu, penting bagi regulasi mendatang untuk mengarahkan platform digital agar memberikan ruang yang proporsional bagi konten budaya Indonesia.

RUU Penyiaran juga menyasar tujuan ekonomi dengan memperkuat industri penyiaran nasional. Ekosistem media yang sehat akan menciptakan peluang kerja, mendorong investasi, dan mendukung inovasi di bidang kreatif. Namun semua itu harus dilakukan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi dan kreativitas pelaku industri. Regulasi yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan antara perlindungan masyarakat dan ruang ekspresi yang bebas namun bertanggung jawab.

Dalam proses legislasi ini, Komisi I DPR RI telah membuka ruang partisipasi publik melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), melibatkan berbagai pihak dari kementerian, lembaga penyiaran, hingga perwakilan platform digital. Ini menunjukkan bahwa penyusunan regulasi tidak dilakukan secara sepihak, melainkan dengan semangat kolaboratif untuk merumuskan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional.

Dengan regulasi yang adaptif, progresif, dan berpihak pada kepentingan publik, RUU Penyiaran dapat menjadi fondasi kuat bagi tata kelola ruang digital nasional. Kehadirannya akan memperkuat literasi masyarakat, mendorong keberagaman konten, melindungi pengguna dari konten destruktif, serta memastikan bahwa transformasi digital di Indonesia berlangsung secara sehat dan berkelanjutan. Maka, menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa untuk mengawal dan mendukung proses legislasi ini agar hasilnya benar-benar mewakili semangat kebangsaan dan cita-cita kemajuan Indonesia di era digital.

)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.