Regulasi Pajak Digital Siap Sasar Platform Asing

oleh -13 Dilihat
oleh
banner 468x60

Jakarta – Pemerintah Indonesia resmi mengumumkan rencana penerapan pajak atas aktivitas ekonomi digital di media sosial, mulai tahun 2026. Kebijakan ini menargetkan pelaku usaha digital seperti kreator konten, influencer, hingga perusahaan asing penyedia layanan digital berbayar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk memperluas basis penerimaan negara, seiring pertumbuhan pesat transaksi digital di Indonesia.

banner 336x280

“Kami akan mulai menyisir potensi pajak dari media sosial dan data digital untuk mendukung target penerimaan APBN 2026,” ujar Sri Mulyani.

Ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak ditujukan bagi pengguna biasa. Target utama adalah individu maupun badan usaha yang memperoleh penghasilan signifikan dari aktivitas ekonomi digital.

“Yang akan dikenai pajak adalah kreator konten yang memperoleh penghasilan dari monetisasi platform digital, influencer dan selebgram yang menerima bayaran dari endorsement, serta perusahaan asing penyedia layanan digital berbayar seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan Netflix,” lanjutnya.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menggunakan pendekatan berbasis data untuk memetakan aktivitas ekonomi digital secara transparan. Salah satu upaya yang tengah disiapkan adalah sistem pemantauan canggih berbasis teknologi informasi dan kolaborasi lintas sektor.

“Ekonomi digital berkembang pesat dan perlu dimasukkan ke dalam sistem perpajakan agar adil dan merata,” tegas Sri Mulyani.

Langkah ini juga sejalan dengan strategi pemerintah dalam memperkuat reformasi pajak digital pasca disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). DJP berencana mengintegrasikan data dari platform digital, sistem perpajakan, dan institusi keuangan untuk membentuk basis pajak yang lebih kuat.

Sebelum diberlakukan, pemerintah akan melakukan sosialisasi menyeluruh kepada pelaku industri kreatif dan digital. DJP menyadari bahwa literasi digital dan pemahaman perpajakan masih menjadi tantangan besar, terutama di kalangan pelaku usaha mikro dan menengah.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Bidang Penyuluhan Kanwil DJP Jatim III, Vincentius Sukamto menegaskan pentingnya teknologi dalam mendukung keadilan pajak digital. Ia menjelaskan bahwa regulasi seperti PMK 60/2022 sudah memberikan pijakan hukum atas pemanfaatan barang dan jasa digital dari luar negeri. Namun menurutnya, regulasi saja tidak cukup.

“DJP kini mengembangkan Coretax DJP, sistem pajak digital terintegrasi yang memanfaatkan AI dan geotagging untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi administrasi pajak,” kata Vincent.

Vincent juga menyebutkan bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi luas dengan konsultan pajak, akademisi, dan pelaku industri sangat diperlukan untuk memastikan kepatuhan dan keberhasilan reformasi perpajakan di era digital.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menambahkan bahwa profesi konsultan pajak kini dituntut bertransformasi.

“Kami mendorong lahirnya profesi baru: Taxologist, yaitu konsultan pajak yang menguasai teknologi dan mampu memimpin inovasi digital perpajakan,” ucapnya.

Dengan langkah ini, Indonesia kian serius menghadapi era digital dengan kerangka pajak yang inklusif, modern, dan responsif terhadap perubahan zaman.

[]

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.