Pulau Padar Aman: Ekowisata yang Berpihak pada Konservasi dan Warga

oleh -13 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Gendhis Sathiti*)

Di tengah riuh kekhawatiran publik atas wacana pembangunan fasilitas wisata di Pulau Padar, ada peluang untuk menata ulang relasi manusia—alam—ekonomi secara dewasa. Posisi kita sederhana: konservasi adalah tujuan pertama, tetapi konservasi yang matang tidak anti-manusia—ia menuntut tata kelola yang ketat, partisipasi masyarakat, dan teknologi pengawasan yang mencegah kerusakan sejak hulu. Dari rangkaian pernyataan pejabat teknis dan peneliti, ada fondasi kuat untuk memastikan Pulau Padar tetap aman.

banner 336x280

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa setiap rencana pemanfaatan Pulau Padar harus tunduk pada prinsip kehati-hatian ekologis. Ia menyampaikan bahwa bila pun pihak swasta membangun, prioritas utama ialah menjaga ekologi sehingga habitat komodo tidak terganggu. Ia juga menerangkan, pemanfaatan untuk ekowisata dimungkinkan secara terbatas di zona pemanfaatan, sebuah koridor hukum yang justru dirancang agar pariwisata berjalan dalam pagar konservasi. Di saat yang sama, ia mengindikasikan perlunya pengetatan jumlah pengunjung agar Pulau Padar tidak lagi diperlakukan layaknya pasar wisata; menjadi sinyal bahwa daya dukung (carrying capacity) menjadi rujukan faktual, bukan jargon.

Raja Juli Antoni menjabarkan bahwa perizinan fasilitas pariwisata di Pulau Padar telah dimiliki PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) sejak 2014. Fakta bahwa belum ada konstruksi hingga kini menandakan proses uji tuntas yang panjang. Menurutnya, pembangunan apa pun harus melalui kajian dampak lingkungan mendalam, termasuk pelibatan UNESCO. Ia menambahkan, bentuk infrastruktur yang diizinkan akan bersifat non-permanen dan dapat dipindahkan agar tidak merusak ekosistem. Ia juga menyebut data perencanaan akan disempurnakan kembali, sebuah pengakuan bahwa tata kelola yang baik bersandar pada verifikasi ilmiah, bukan asumsi. Dengan kerangka itu, klaim “Pulau Padar akan aman” bukan retorika, melainkan komitmen operasional: zona dibatasi, desain adaptif, kuota ditegakkan, dan setiap tahap melewati review lingkungan yang ketat.

Kita tentu tidak boleh menutup mata pada kegelisahan warga. Seorang penduduk di kawasan Taman Nasional Komodo, Alimudin, menyuarakan rasa tidak adil—ia menilai lahan untuk ribuan warga jauh lebih kecil ketimbang konsesi perusahaan, dan mengingatkannya pada sejarah relokasi warga dari kawasan konservasi. Narasi ini penting—bukan untuk menolak ekowisata, tetapi untuk menata keadilan sosialnya. Di sinilah pemerintah mempertegas bahwa model ekowisata yang dipilih tidak akan mengulangi “eksklusi konservasi”; akses ekonomi warga menjadi bagian desain, bukan sisa kebijakan. Itulah sebabnya pendekatan “konservasi berbagi manfaat” (benefit-sharing) relevan: warga setempat tidak hanya menjadi penonton, melainkan tentunya menjadi mitra strategis.

Peneliti BRIN, Destika Cahyana, menawarkan dua rel pengaman yang sejalan dengan itu. Ia menekankan bahwa selama status lahan sesuai aturan dan tidak merusak lingkungan maupun habitat komodo, pembangunan tidak menjadi masalah. Ia juga menegaskan perlunya pelibatan formal masyarakat dalam setiap kebijakan dan rencana; misalnya, melalui wadah seperti koperasi atau BUMDes. Ia mengingatkan aspek teknis—proporsi ruang hijau terhadap bangunan harus dijaga agar lahan tidak berubah menjadi tanah terbuka yang memicu erosi dan merusak laut. Tentu selaun catatan teknis; ini adalah inti etika lingkungan: kita menjaga bentuk-bentuk kehidupan dari hulu (tanah dan vegetasi) agar hilir (pesisir dan laut) tetap sehat.

Pemerintah, melalui otoritas kehutanan, telah memberikan kerangka kepastian: zona pemanfaatan yang jelas, review lingkungan yang melibatkan UNESCO, dan desain struktur non-permanen. Namun agar keadilan sosial terjamin, model bisnis ekowisata harus memasukkan warga sebagai pelaku ekonomi utama. Di titik ini, masukan BRIN dapat diinstitusikan: syarat kemitraan formal dengan koperasi desa untuk setiap izin usaha; kuota keterlibatan pemandu lokal; dan skema “local content” untuk layanan logistik—dari katering hingga transportasi—yang diisi penyedia setempat. Dengan demikian, argumen agraria yang diajukan warga mendapatkan kanal solusi.

Negara memiliki kewajiban ganda: menjaga kelestarian spesies endemik dan memastikan martabat ekonomi warga setempat. Raja Juli Antoni telah menandai rambu ekologinya; Destika Cahyana memetakan rambu sosial-teknisnya. Menyatukan keduanya adalah pekerjaan kebijakan: menetapkan indikator keberhasilan yang tidak hanya mengukur jumlah kunjungan dan penerimaan nonpajak, melainkan juga luas ruang hijau pascakonstruksi, tingkat erosi, kualitas air, keterlibatan tenaga kerja lokal, sampai porsi pendapatan yang berputar di desa. Pengelolaan berbasis indikator ini wujud kehati-hatian yang dapat diaudit publik.

Garis kebijakan yang ditempuh pemerintah menjadikan konservasi sebagai tujuan, ekowisata sebagai alat, masyarakat sebagai subjek, dan ilmu pengetahuan sebagai kompas. Proses penilaian dampak melibatkan otoritas ilmiah global, struktur dirancang non-permanen, kuota disetel sesuai daya dukung, tanah hijau dipertahankan, dan warga dilibatkan secara formal, klaim “Pulau Padar aman” tidak hanya layak dipercaya—ia dapat diverifikasi.

Kita perlu menggeser cara pandang dari ketakutan total menjadi kewaspadaan cerdas. Ketakutan total membekukan; kewaspadaan cerdas menuntut rancangan, audit, dan koreksi berkelanjutan. Komodo adalah warisan dunia. Menjaganya bukan berarti mengurung Pulau Padar dari kehidupan manusia, tetapi mengajari manusia hidup selaras dalam batas-batas ekologisnya. Dengan rambu yang sudah dipasang oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, serta rambu sosial-teknis yang diingatkan peneliti BRIN Destika Cahyana, optimistisme itu ada. Bahwa Pulau Padar akan tetap aman—bukan karena janji, melainkan karena tata kelola yang bisa diuji, dilihat, dan disempurnakan bersama.

*) Pemerhati lingkungan

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.