Oleh : Gavin Asadit )*
Program hilirisasi yang terus dicanangkan pemerintah sepanjang tahun 2025 menunjukkan hasil nyata dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional. Melalui pendekatan industrialisasi berbasis nilai tambah, Indonesia mulai meninggalkan ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan bertransformasi menuju negara industri berbasis pengolahan.
Sejak awal tahun, pemerintah memprioritaskan hilirisasi pada sektor-sektor strategis seperti tambang, perkebunan, perikanan, dan energi. Fokus utama diarahkan pada peningkatan nilai tambah komoditas dalam negeri dan penciptaan ekosistem industri berkelanjutan yang dapat menguatkan struktur ekonomi nasional dan menumbuhkan kemandirian industri.
Data terbaru dari Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi hilirisasi pada kuartal I tahun 2025 mencapai Rp136,3 triliun, meningkat tajam sebesar 79,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp75,8 triliun. Investasi terbesar masih didominasi oleh subsektor tambang, terutama hilirisasi nikel sebesar Rp47,8 triliun, disusul tembaga Rp17,7 triliun, bauksit Rp12,8 triliun, serta kontribusi dari minyak, gas, dan kelapa sawit. Kenaikan ini mendorong porsi investasi hilirisasi terhadap total investasi nasional naik signifikan menjadi 29,3 persen dari Rp465,2 triliun total investasi kuartal I, dibanding rata-rata 23 hingga 24 persen dalam tiga tahun terakhir.
Dari sisi makroekonomi, program hilirisasi berperan penting dalam meredam tekanan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), memperkuat neraca perdagangan, dan menumbuhkan struktur industri dalam negeri. Kepala Ekonom Permata Bank Joshua Pardede menilai bahwa hilirisasi mampu memperpanjang rantai pasok domestik, sehingga menciptakan nilai tambah lebih tinggi dan mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor bahan mentah yang fluktuatif.
Hal ini tercermin dari kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai 17,50 persen pada kuartal I 2025, sedikit meningkat dibanding 17,47 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, World Bank mencatat Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia menembus angka US$255,96 miliar pada 2023, atau naik 36,4 persen dari tahun sebelumnya, memperkuat posisi Indonesia dalam peta industri global.
Keberhasilan hilirisasi juga akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan penerimaan daerah. Riset dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas hilirisasi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta Dana Bagi Hasil (DBH) melalui pajak kendaraan bermotor, bea balik nama, dan pajak penerangan jalan. Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani menambahkan bahwa industri berbasis hilirisasi menciptakan lapangan kerja formal berkualitas dan mengubah citra Indonesia menjadi destinasi investasi berbasis nilai tambah, bukan sekadar negara pengekspor komoditas mentah.
Contoh konkret dari keberhasilan hilirisasi dapat dilihat pada kawasan industri Morowali di Sulawesi Tengah, yang kini menjadi pusat pengolahan nikel terbesar di dunia. Total investasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) telah mencapai US$34,3 miliar hingga akhir 2024, dengan lebih dari 11 smelter yang beroperasi aktif pada tahun 2025. Kawasan ini menjadi tulang punggung produksi baterai kendaraan listrik dan stainless steel, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi regional di Sulawesi. Meski demikian, tantangan sosial dan lingkungan juga turut mengemuka, seperti pencemaran, tingginya kebutuhan infrastruktur dasar, serta tekanan terhadap lingkungan hidup yang masih menjadi pekerjaan rumah.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah menekankan pentingnya transformasi industri yang inklusif dan berkelanjutan. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan bahwa kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diperkuat sejak awal 2025 menjadi fondasi utama hilirisasi jangka panjang. Pemerintah juga mendorong integrasi riset dan inovasi antara perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri agar tercipta produk hilir yang mampu bersaing di pasar internasional.
Meski capaian hilirisasi sangat signifikan, beberapa kalangan menilai perlunya penguatan lebih lanjut, khususnya pada bentuk produk akhir dan pengembangan SDM industri. Selain itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) di sektor industri masih belum memadai untuk mendukung percepatan industrialisasi. Pengembangan pendidikan vokasi dan pelatihan teknis harus diperkuat agar sejalan dengan kebutuhan industri.
Tantangan lainnya adalah ketimpangan pembangunan infrastruktur di luar Jawa yang menghambat optimalisasi kawasan industri baru. Pemerintah terus mempercepat pembangunan infrastruktur di luar Jawa untuk mendorong optimalisasi kawasan industri baru. Tak kalah penting, integrasi kebijakan fiskal, insentif investasi, keberlanjutan lingkungan, dan pengawasan sosial juga perlu diperkuat agar hilirisasi tidak hanya berdampak ekonomi tetapi juga sosial dan ekologis.
Ke depan diharapkan hilirisasi akan menjadi fondasi utama dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, hilirisasi menjadi salah satu prioritas strategis untuk membawa Indonesia naik kelas menjadi negara maju berbasis ekonomi hijau dan teknologi tinggi. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sektor hilirisasi mineral dan energi mencapai Rp2.100 triliun pada 2045, serta pengembangan produk hilir berbasis riset dan digitalisasi.
Dengan arah kebijakan yang semakin matang, hilirisasi bukan hanya menjadi jargon politik, melainkan strategi konkret yang mendorong kemandirian industri, membuka jutaan lapangan kerja, memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global, dan menciptakan ekonomi yang lebih tangguh menghadapi gejolak global. Keberhasilan program ini akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan dunia usaha untuk menjaga kesinambungan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam setiap tahap pembangunan industri nasional.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan