Masyarakat Tolak Narasi Separatisme Momentum 1 Juli

oleh -4 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh : Elias Wanimbo )*

Penetapan 1 Juli oleh Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) sebagai hari ulang tahun mereka merupakan sebuah simbol provokasi yang merongrong keutuhan nasional dan merusak masa depan masyarakat Papua. Hal ini juga bertentangan dengan upaya konsisten pemerintah membangun masa depan Papua yang damai dan sejahtera. Dalam konteks ini, penolakan terhadap glorifikasi tanggal tersebut menjadi bentuk tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang dan cita-cita perdamaian.

banner 336x280

Sikap tegas ditunjukkan oleh tokoh masyarakat adat Papua, Yanto Eluay, yang menggarisbawahi bahwa 1 Juli bukanlah bagian dari nilai-nilai luhur yang dijunjung masyarakat Papua. Menurutnya, penetapan tersebut tidak mencerminkan jati diri orang asli Papua yang mengedepankan kedamaian dan persaudaraan. Dengan penuh keprihatinan, Yanto Eluay mengingatkan bahwa peringatan 1 Juli kerap dimanfaatkan oleh kelompok separatis bersenjata untuk memicu ketegangan dan merusak rasa aman di tengah masyarakat.

Penolakan terhadap 1 Juli sebagai hari bersejarah versi OPM adalah langkah tegas membedakan aspirasi damai dari provokasi bersenjata yang membahayakan rakyat. Dalam realitas Papua hari ini, masyarakat tidak lagi menginginkan hidup dalam pusaran kekacauan bersenjata. Masyarakat ingin maju, sejahtera, dan setara. Narasi tentang Papua yang terus dibingkai dalam konflik dan perlawanan bersenjata sejatinya hanya menjadi komoditas politik kelompok kecil yang tidak merepresentasikan keinginan luas masyarakat.

Yanto Eluay menyampaikan harapan besar agar tanah Papua dapat dibangun dengan pendekatan damai, berlandaskan pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dalam pandangannya, senjata bukanlah jalan keluar dari ketimpangan. Pemerintah terus menunjukkan bahwa solusi ketimpangan bukan dengan kekerasan, melainkan lewat pembangunan berkelanjutan yang inklusif. Justru kekerasan dan separatisme memperdalam ketertinggalan dan menambah penderitaan masyarakat yang seharusnya bisa hidup aman dan produktif. Penolakan terhadap 1 Juli bukanlah sekadar penolakan terhadap sebuah tanggal, tetapi penolakan terhadap cara berpikir yang membenarkan konflik demi tujuan politik yang tidak realistis.

Penting dicatat bahwa masyarakat adat Papua memiliki tradisi menyelesaikan masalah secara dialogis, dengan musyawarah dan semangat rekonsiliasi. Budaya Papua bukan budaya perang. Penolakan terhadap narasi 1 Juli sejalan dengan warisan budaya Papua yang menjunjung tinggi musyawarah dan kedamaian. Gerakan separatis yang terus memaksakan tanggal tersebut sebagai hari kebangkitan justru mereduksi makna perjuangan sejati masyarakat adat Papua.

Secara strategis, narasi 1 Juli juga kerap digunakan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan disinformasi di media sosial dan memprovokasi tindakan kekerasan di lapangan. Dalam momentum tersebut, kampanye anti-NKRI sering digencarkan, termasuk pengibaran simbol-simbol separatis yang tidak sesuai dengan semangat persatuan. Kondisi ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang mendambakan ketenangan dan pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah melalui pendekatan pembangunan telah menunjukkan komitmen kuat untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat Papua. Berbagai infrastruktur dibangun, akses pendidikan diperluas, layanan kesehatan diperkuat, serta ruang partisipasi masyarakat adat terus diperluas. Namun semua ini sulit berkembang jika masih ada kelompok yang terus mengangkat senjata dan memprovokasi ketidakstabilan. Dalam hal ini, peran tokoh adat seperti Yanto Eluay menjadi penting sebagai jembatan antara masyarakat akar rumput dan kebijakan pembangunan nasional.

Sebagian besar masyarakat Papua, khususnya generasi muda, mulai berpaling dari narasi kekerasan dan memilih jalur yang lebih menjanjikan: pendidikan, kewirausahaan, dan partisipasi aktif dalam pembangunan. Bagi mereka, perjuangan kini bukan lagi dalam bentuk pemberontakan, melainkan melalui pencapaian prestasi dan peningkatan kualitas hidup. Karena itulah, pemaknaan ulang terhadap sejarah Papua menjadi langkah penting untuk menutup ruang glorifikasi terhadap kekerasan.

Menerima perbedaan dan keberagaman dalam bingkai NKRI bukan berarti meniadakan identitas lokal. Justru dengan tetap berada dalam Indonesia, masyarakat Papua memiliki ruang untuk memperjuangkan hak dan martabatnya secara konstitusional, damai, dan bermartabat. Separatisme tidak lagi relevan dalam tatanan demokrasi modern yang membuka ruang dialog dan keterlibatan masyarakat dari seluruh pelosok negeri.

Menolak provokasi 1 Juli adalah bagian dari upaya besar menjaga Papua dari jebakan konflik yang tidak produktif. Ini adalah bentuk keberanian moral untuk mengatakan bahwa masa depan Papua lebih penting daripada memelihara luka masa lalu. Dengan pendekatan inklusif dan penghargaan terhadap nilai adat yang damai, Papua bisa berdiri sejajar dan berkontribusi aktif dalam kemajuan bangsa.

Seperti yang ditegaskan oleh Yanto Eluay, saatnya masyarakat Papua menjauhkan diri dari narasi konflik dan membangun tanah ini dengan harapan dan cinta damai. Penolakan terhadap 1 Juli bukanlah bentuk kebencian, melainkan bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi Papua agar tumbuh dalam lingkungan yang aman, bermartabat, dan penuh peluang. Dalam bingkai kebangsaan yang utuh, Papua akan terus menjadi bagian penting dari Indonesia yang maju dan bersatu.

Kini saatnya semua elemen bangsa, termasuk generasi muda Papua, mengedepankan masa depan yang harmonis dalam bingkai Indonesia. Menolak glorifikasi 1 Juli berarti memutus rantai narasi kekerasan dan memilih jalan kolaborasi menuju kemajuan. Dengan memperkuat nilai budaya damai, memperluas akses pendidikan, dan terus mendukung kebijakan pembangunan pemerintah, Papua akan semakin kokoh sebagai bagian integral dari Indonesia yang berdaulat, adil, dan sejahtera.

)* Penulis merupakan Pegiat Forum Literasi Papua

[edRW]

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.