Kenaikan PBB di Sejumlah Daerah Bukan Dampak Kebijakan Pemerintah Pusat

oleh -6 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Effendy Satria )*

Ketegangan politik lokal di Kabupaten Pati meningkat setelah kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) diumumkan oleh Bupati Sudewo. Kebijakan tersebut awalnya menaikkan tarif hingga 250 persen, langkah yang memicu gejolak di masyarakat. Meskipun kebijakan itu akhirnya dibatalkan, kemarahan sebagian warga terlanjur membesar dan berujung pada tuntutan agar Bupati mengundurkan diri.

banner 336x280

Di tengah sorotan publik ini, muncul anggapan bahwa kenaikan PBB tersebut berkaitan dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Sebagian pihak mengaitkan pemangkasan dana transfer daerah dari pusat dengan keputusan pemerintah daerah menaikkan pajak. Namun, penjelasan resmi dari pihak istana justru menampik keterkaitan langsung antara dua hal tersebut.

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, memandang Pati sebagai daerah dengan kemampuan fiskal yang belum cukup kuat. Menurutnya, langkah menaikkan PBB secara signifikan merupakan cara cepat yang diambil pemerintah daerah untuk menutup kekurangan penerimaan.

Eko menduga bahwa perhitungan besaran PBB didasarkan pada selisih pendapatan akibat penurunan transfer dana dari pusat, meskipun kenaikan tersebut dinilai tidak berkelanjutan. Eko juga berpendapat bahwa fenomena serupa mungkin terjadi di daerah lain yang menghadapi tekanan anggaran.

Meski analisis tersebut mencerminkan pandangan ekonom, pemerintah pusat melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa tuduhan yang menghubungkan efisiensi anggaran pusat dengan kenaikan PBB daerah tidak berdasar. Hasan menyatakan bahwa efisiensi yang dilakukan pemerintah pusat hanya berkisar 4 hingga 5 persen dari total anggaran daerah. Angka ini, menurutnya, terlalu kecil untuk dijadikan alasan utama kenaikan pajak sebesar ratusan persen di tingkat kabupaten.

Hasan menekankan bahwa kewenangan menetapkan tarif PBB sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Penetapan itu mencakup berbagai objek pajak seperti rumah, gedung, tanah, dan lahan nonpertambangan atau nonperkebunan. Dalam praktiknya, keputusan menaikkan PBB seharusnya telah melalui koordinasi antara pemerintah daerah dengan DPRD setempat, biasanya dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Ia juga mengingatkan bahwa penyesuaian tarif PBB bukanlah hal baru, karena di banyak daerah penyesuaian serupa telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.

Pandangan ini memperlihatkan garis tegas bahwa kebijakan fiskal daerah merupakan hasil keputusan lokal, bukan instruksi langsung dari pemerintah pusat. Dengan demikian, upaya mengaitkan kenaikan PBB di Pati dengan kebijakan efisiensi nasional menjadi tidak relevan.

Di sisi lain, dinamika politik lokal memperlihatkan adanya ketegangan antara pemerintah daerah dan masyarakat. Sekretaris LBH GP Ansor, Taufik Hidayat, menyoroti pentingnya kepala daerah bersikap rendah hati dan terbuka terhadap kritik publik. Menurutnya, protes yang terjadi di Pati merupakan ekspresi partisipasi demokratis yang seharusnya disambut sebagai masukan, bukan ancaman. Ia mengingatkan bahwa kedaulatan rakyat sebagaimana diatur konstitusi menjadi dasar bagi setiap pemimpin untuk mendengar aspirasi warganya.

Meski pernyataan LBH GP Ansor lebih diarahkan kepada sikap pemerintah daerah, pesan yang tersirat sejalan dengan pandangan pemerintah pusat, yaitu bahwa setiap keputusan fiskal di daerah adalah hasil kebijakan lokal. Dengan kata lain, tanggung jawab politik atas kenaikan PBB di Pati berada di tangan pemangku jabatan daerah, bukan hasil tekanan kebijakan efisiensi dari pusat.

Konteks ini menjadi penting untuk dipahami publik, agar tidak terjadi bias informasi yang menimbulkan persepsi keliru. Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat memiliki tujuan memperbaiki pengelolaan keuangan negara dan memastikan belanja lebih tepat sasaran. Persentase efisiensi yang relatif kecil menunjukkan bahwa ruang fiskal daerah masih cukup luas untuk mengatur prioritas tanpa harus membebankan kenaikan pajak yang terlalu tinggi pada masyarakat.

Dari sudut pandang kebijakan fiskal, pemerintah pusat justru mendorong daerah untuk mengoptimalkan potensi penerimaan melalui peningkatan aktivitas ekonomi, bukan dengan menaikkan tarif pajak secara drastis. Hal ini selaras dengan pandangan Eko Listiyanto yang mengingatkan bahwa cara jangka panjang untuk memperkuat pendapatan daerah adalah dengan menggerakkan sektor ekonomi, sehingga basis pajak meluas secara alami.

Kasus Pati memberikan pelajaran bahwa kebijakan fiskal daerah memerlukan kajian komprehensif, melibatkan pemangku kepentingan, dan memperhatikan daya dukung ekonomi masyarakat. Kenaikan pajak yang terlalu tinggi tanpa kesiapan sosial dapat memicu resistensi, bahkan menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah daerah.

Sementara itu, pembelaan pemerintah pusat terhadap isu ini menunjukkan komitmen menjaga kredibilitas kebijakan nasional sekaligus memberikan ruang otonomi kepada daerah. Posisi ini memperkuat prinsip desentralisasi yang telah lama menjadi landasan hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia. Dengan otonomi tersebut, daerah memiliki keleluasaan mengelola pendapatan dan belanja sesuai kebutuhan lokal, namun tetap diharapkan menerapkan kebijakan yang adil dan proporsional bagi masyarakat.

Ke depan, sinergi antara pusat dan daerah diharapkan mampu menciptakan kebijakan fiskal yang stabil, berkeadilan, dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Efisiensi anggaran di tingkat nasional tidak seharusnya ditafsirkan sebagai beban tambahan bagi masyarakat daerah, melainkan sebagai dorongan untuk mengelola sumber daya secara lebih cermat dan inovatif.

)* Pemerhati Ekonomi

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.