Indonesia Raih Tarif Impor Ke AS Terendah Se-Asean, Buka Peluang Investasi

oleh -6 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Dewi Suryani*

Langkah diplomatik yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam membangun hubungan perdagangan internasional kembali membuahkan hasil nyata. Penurunan tarif impor oleh Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen mencerminkan keberhasilan strategi negosiasi yang tak hanya tangguh di atas meja diplomasi, tetapi juga cermat dalam membaca peluang geopolitik dan ekonomi global. Pencapaian ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tarif terendah di Asia Tenggara dalam skema tarif baru yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump, bahkan lebih rendah dibanding Vietnam yang tarifnya dipatok 20 persen.

banner 336x280

Keberhasilan ini bukan terjadi secara kebetulan. Ia merupakan buah dari perundingan intensif antara Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam dinamika global yang makin kompetitif, keberanian Presiden Prabowo untuk terjun langsung ke jantung diplomasi perdagangan adalah bukti kepemimpinan yang proaktif dan visioner. Selain itu, keberhasilan ini juga tak lepas dari peran strategis Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang memimpin tim negosiasi tarif resiprokal dengan penuh determinasi.

Penurunan tarif ini memberi dampak ganda yang strategis. Pertama, dari sisi daya saing ekspor Indonesia. Tarif 19 persen menjadikan produk Indonesia lebih menarik di pasar AS dibanding produk dari negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia (25 persen), Thailand dan Kamboja (36 persen), bahkan Myanmar dan Laos yang menghadapi tarif hingga 40 persen. Dalam konteks global supply chain, hal ini membuka ruang lebih luas bagi produk manufaktur, pertanian, hingga barang hasil hilirisasi mineral Indonesia untuk mengisi ceruk pasar Amerika yang sebelumnya sulit dijangkau akibat hambatan tarif tinggi.

Kedua, dari sisi investasi, tarif rendah menjadi insentif tidak langsung bagi pelaku usaha global untuk menanamkan modal di Indonesia. Investor, terutama di sektor manufaktur dan ekspor, akan melihat Indonesia sebagai basis produksi yang lebih efisien untuk menjangkau pasar Amerika. Dibandingkan menempatkan pabrik di negara yang menghadapi tarif lebih tinggi, Indonesia kini menawarkan efisiensi biaya yang lebih kompetitif, sekaligus stabilitas politik dan ekonomi yang terbukti kuat di kawasan.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebutkan bahwa pencapaian ini adalah sebuah lompatan yang signifikan. Ia menegaskan bahwa kesepakatan tarif 19 persen ini tidak bisa disebut sebagai keberhasilan kecil. Justru sebaliknya, ini adalah hasil dari perjuangan luar biasa tim negosiasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh pejabat tingkat tinggi negara. Bahkan, jika diibaratkan, pagar perdagangan setinggi 32 persen yang semula menghalangi ekspor Indonesia kini telah diturunkan secara substansial, membuka jalan yang lebih lebar menuju pasar Amerika.

Lebih jauh, para analis ekonomi memandang positif dampak tarif baru ini terhadap neraca perdagangan Indonesia. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebutkan bahwa meskipun AS mengenakan tarif 19 persen, hal ini tidak akan memperlebar defisit dagang. Barang-barang yang dikenakan tarif sejatinya tetap dibutuhkan oleh Indonesia. Artinya, terjadi pergeseran dalam sumber impor tanpa mengganggu nilai transaksi secara keseluruhan.

Justru sebaliknya, Wijayanto menilai bahwa tarif yang lebih rendah dari AS akan menjadi peluang besar untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke Amerika. Saat ini, meskipun ekspor ke AS hanya menyumbang sekitar 9,9 persen dari total ekspor nasional, kontribusinya terhadap surplus perdagangan mencapai 45 persen. Dengan tarif baru yang lebih ringan, potensi pertumbuhan ekspor ke AS dipastikan akan meningkat, yang pada akhirnya memperkuat surplus neraca dagang nasional.

Senada, Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai bahwa dampak terhadap neraca dagang RI akan sangat minimal. Barang-barang yang diimpor dari AS umumnya adalah produk strategis yang tetap dibutuhkan oleh industri dalam negeri. Bahkan, jika terjadi pergeseran mitra dagang, misalnya dari Singapura atau negara Timur Tengah ke Amerika Serikat, maka posisi Indonesia tetap tidak dirugikan secara ekonomi. Di sisi ekspor, performa komoditas unggulan Indonesia seperti nikel hasil hilirisasi, kelapa sawit, dan batu bara tetap menjadi penopang utama surplus perdagangan.

Dari perspektif makroekonomi dan geostrategis, keberhasilan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang tidak hanya mampu menjaga kemandirian politik luar negeri, tetapi juga secara aktif mengamankan kepentingan nasional di ranah global. Dalam era di mana proteksionisme kembali menguat di negara-negara maju, kemampuan Indonesia untuk menegosiasikan tarif lebih rendah dari negara lain merupakan pencapaian langka yang harus dimanfaatkan secara maksimal.

Penurunan tarif impor AS terhadap produk Indonesia menjadi 19 persen adalah kemenangan diplomasi ekonomi yang harus dirayakan dan dijadikan pijakan strategis untuk langkah berikutnya. Momentum ini akan ditindaklanjuti dengan strategi penguatan industri ekspor, peningkatan kualitas produk nasional, dan penciptaan ekosistem investasi yang proaktif dan inklusif. Dengan demikian, Indonesia tak hanya tampil sebagai negara yang berhasil menegosiasikan tarif terendah di ASEAN, tetapi juga menjadi magnet utama bagi arus investasi dan perdagangan global di kawasan.

*Penulis merupakan Analis Kebijakan Perdagangan Internasional

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.