Jakarta — Pembahasan lanjutan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali digelar di Gedung DPR RI dengan fokus utama pada perlindungan terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Agenda ini menjadi bagian dari komitmen pemerintah dan legislatif dalam membangun sistem peradilan yang lebih adil dan inklusif.
Anggota Komisi III DPR RI, Bimantoro Wiyono, menyatakan DPR memberikan perhatian serius terhadap keberadaan kelompok masyarakat rentan dalam proses penyusunan RKUHAP. Menurutnya, substansi perlindungan terhadap perempuan, anak, termasuk ibu hamil, telah menjadi bagian penting dalam rumusan pasal-pasal RKUHAP yang tengah dibahas.
“Ini akan menjadi pertimbangan kami dalam merumuskan RKUHAP. Saya rasa sudah banyak yang sudah diakomodir sampai saat ini,” ungkap Bimantoro dalam rapat dengar pendapat yang turut menghadirkan Komnas Perempuan.
Dukungan terhadap pentingnya pendekatan yang berpihak pada kelompok rentan juga disampaikan oleh anggota Komisi III lainnya, Rikwanto. Ia menekankan bahwa dalam menyusun ketentuan hukum acara pidana, negara tidak hanya perlu mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi, tetapi juga harus mengedepankan perlindungan yang adil terhadap korban.
“Masalah gender ini spesial. Perlindungan terhadap perempuan dan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas harus dikedepankan,” katanya.
Masukan konkret juga datang dari Komnas Perempuan. Dalam forum yang sama, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, memaparkan bahwa Komnas Perempuan mendorong penyempurnaan sistem hukum yang lebih responsif terhadap perempuan dan anak sebagai korban kekerasan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan, banyak proses hukum yang tidak berjalan secara responsif terhadap kondisi korban.
“Komnas Perempuan mencatat adanya kebutuhan peningkatan respons sistem hukum terhadap laporan korban, agar proses hukum lebih cepat dan pendampingan lebih merata sejak awal,” jelas Ratna.
Komnas Perempuan mendorong agar RKUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang mampu menyatukan perlindungan khusus yang sudah tersebar dalam berbagai undang-undang sektoral, seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Disabilitas. Pendekatan ini diharapkan dapat menghadirkan sistem hukum acara yang lebih terintegrasi dan berpihak pada korban.
“RKUHAP ini semestinya menjadi tonggak baru yang komprehensif, mencerminkan pengalaman nyata korban dan pendamping di lapangan. Ini bukan hanya soal norma hukum, tapi juga soal keadilan substantif,” tegasnya.
Pembahasan RKUHAP yang berlangsung secara terbuka ini menandai upaya pemerintah, DPR, dan berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan perangkat hukum yang tidak hanya tegas terhadap pelaku kejahatan, tetapi juga peduli terhadap pemulihan dan perlindungan korban. Dengan demikian, RKUHAP nantinya dapat menjadi pedoman baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial. [-red]