Oleh: Loa Murib
Penangkapan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh aparat keamanan melalui Operasi Damai Cartenz menjadi bukti nyata bahwa negara tidak memberikan ruang sedikit pun bagi aksi terorisme di Bumi Cenderawasih. Penindakan tegas ini bukan hanya langkah penegakan hukum, tetapi juga pesan kuat kepada pihak-pihak yang mencoba merusak kedaulatan dan mengganggu keamanan nasional.
Kasus yang memicu penangkapan ini terjadi pada 13 Agustus 2025 di KM 128 Distrik Siriwo, Nabire, Papua Tengah, ketika dua anggota kepolisian, Brigadir Muhammad Arif Maulana dan Bripda Nelson Runaki, menjadi korban penembakan brutal. Aksi ini bukan sekadar kriminalitas, tetapi serangan yang terencana untuk menciptakan ketakutan dan instabilitas. Fakta bahwa pelaku mendokumentasikan aksinya untuk disebarkan menegaskan motif propaganda dan teror yang mereka usung.
Operasi Damai Cartenz yang dipimpin Brigadir Jenderal Faizal Ramadhani berhasil menangkap Siprianus Weya, salah satu anggota TPNPB-OPM yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Siprianus bukan sekadar pelaku lapangan, melainkan bagian dari tim media kelompok tersebut, yang bertugas mendokumentasikan aksi bersenjata untuk disebarkan ke publik melalui saluran komunikasi digital. Penangkapan ini mengungkap bahwa OPM tidak hanya bergerak di bidang militer, tetapi juga memanfaatkan media sebagai alat propaganda untuk membangun narasi separatisme.
Selain Siprianus, lima anggota lain yang terhubung dengan jaringan Aibon Kogoya turut diamankan, bersama sejumlah barang bukti berupa jaket, noken, telepon genggam, dan perlengkapan pribadi lainnya. Penemuan ponsel yang digunakan untuk merekam aksi dan mengirimkannya ke jaringan OPM menjadi bukti nyata bahwa kelompok ini menggunakan strategi teror modern yang memadukan kekerasan fisik dan perang informasi.
Dari perspektif keamanan nasional, langkah aparat menindak kelompok ini merupakan keharusan. Teror bersenjata yang dilakukan OPM bukan hanya mengancam aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat sipil. Keberadaan kelompok separatis bersenjata yang terus beroperasi dengan memanfaatkan isu politik identitas dan memanfaatkan wilayah yang sulit dijangkau menjadi tantangan serius bagi negara. Oleh karena itu, keberhasilan menangkap pelaku memberikan pesan kuat bahwa negara hadir dan tidak akan kalah oleh kelompok bersenjata yang merongrong kedaulatan.
Dalam konteks penegakan hukum, tindakan tegas ini menjadi sinyal bahwa negara menempatkan keselamatan warga negara sebagai prioritas utama. Tidak ada kompromi terhadap kelompok yang mengangkat senjata melawan negara. Penegakan hukum yang konsisten menjadi bentuk perlindungan terhadap masyarakat Papua agar tidak terus-menerus hidup dalam ketakutan akibat aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata.
Penting juga untuk memahami bahwa penindakan terhadap OPM bukanlah tindakan yang ditujukan kepada masyarakat Papua secara umum. Sebaliknya, langkah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kelompok kecil yang memanfaatkan isu Papua untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Sebagian besar masyarakat Papua menginginkan kedamaian dan kesejahteraan, bukan konflik berkepanjangan. Penindakan terhadap kelompok bersenjata ini menjadi bagian dari upaya menciptakan ruang yang aman bagi pembangunan dan kesejahteraan di Papua.
Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Komisaris Besar Yusuf Sutejo, menegaskan bahwa masyarakat diminta tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh isu-isu menyesatkan yang sering dimainkan oleh kelompok separatis. Kepercayaan terhadap aparat penegak hukum menjadi hal penting agar proses pemulihan keamanan berjalan lancar. Dengan dukungan masyarakat, operasi penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari warga.
Brigadir Jenderal Faizal Ramadhani menilai keberhasilan penangkapan ini tidak hanya berdampak pada proses hukum, tetapi juga menjadi bentuk pencegahan terhadap aksi-aksi lanjutan yang berpotensi memakan korban. Dengan mengamankan pelaku dan jaringannya, negara memutus mata rantai penyebaran propaganda separatis dan upaya perekrutan anggota baru. Ini menunjukkan bahwa strategi penindakan yang diiringi pendekatan intelijen dan pengawasan informasi digital sangat penting dalam menghadapi ancaman terorisme berbasis media.
Ke depan, penindakan terhadap kelompok bersenjata di Papua harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Aparat tidak boleh lengah karena kelompok ini cenderung bergerak dengan pola sel terputus, sehingga meski pimpinan atau anggota kunci ditangkap, potensi aksi balasan tetap ada. Oleh karena itu, pendekatan keamanan harus dikombinasikan dengan upaya pembangunan sosial-ekonomi yang mengakar agar Papua tidak lagi menjadi ladang subur bagi ideologi separatis.
Penangkapan anggota OPM dalam kasus penembakan dua polisi di Nabire ini merupakan sinyal tegas bahwa negara berdiri kokoh menjaga kedaulatan. Tidak ada tempat bagi kelompok teroris bersenjata yang berupaya menciptakan ketakutan dan memecah belah persatuan. Aparat keamanan yang bertindak cepat dan tegas telah menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan pernah tunduk terhadap ancaman separatisme, dan akan terus memastikan bahwa Papua tetap menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tindakan tegas aparat terhadap kelompok OPM patut diapresiasi sebagai bentuk keberanian dan profesionalisme dalam menjaga stabilitas keamanan negara. Langkah ini tidak hanya melindungi aparat dan masyarakat dari ancaman kekerasan, tetapi juga memastikan keberlangsungan pembangunan dan perdamaian di Papua. Komitmen yang ditunjukkan aparat harus menjadi semangat bersama untuk melawan segala bentuk terorisme yang mengganggu persatuan dan kedaulatan bangsa.
*Penulis adalah Mahasiswa Papua di Jawa Timur