Oleh : Bayu Pradipta )*
Pekerja Migran Indonesia (PMI) telah lama menjadi bagian penting dalam dinamika pembangunan nasional. Peran mereka tidak hanya menggerakkan roda ekonomi keluarga di tanah air, tetapi juga menyumbang devisa dalam jumlah signifikan bagi negara. Namun, di balik kontribusi besar tersebut, terdapat tantangan yang kompleks, mulai dari keberangkatan hingga proses kepulangan. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) terus memperkuat langkah-langkah perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi agar para PMI dapat kembali dengan selamat, bermartabat, dan siap membangun kehidupan yang lebih baik di tanah air.
Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menggelar Rapat Pembahasan Antar Kementerian terkait Rancangan Peraturan Menteri/Badan tentang Pelayanan Kepulangan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi PMI di Jakarta, Kamis (21/8/2025). Kehadiran berbagai kementerian, lembaga negara, hingga organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa isu pekerja migran bukan hanya tanggung jawab satu institusi, melainkan agenda nasional yang memerlukan kolaborasi lintas sektor. Kepala Biro Hukum KP2MI, Wahyudi Putra, menegaskan bahwa pelayanan kepulangan, rehabilitasi, dan reintegrasi harus diatur dalam satu regulasi agar pelaksanaannya jelas dan dapat dipahami semua pihak. Pernyataan ini menandakan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia.
Semangat kolaborasi tersebut juga ditekankan oleh Sekretaris Jenderal Direktorat Pemberdayaan KP2MI, Achmad Syaifudin Rahadhian, yang menegaskan pentingnya masukan dari semua pihak dalam merumuskan peraturan ini. Dengan pelibatan banyak pemangku kepentingan, regulasi yang dihasilkan diharapkan tidak hanya kuat secara normatif, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan di lapangan. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Direktur Kepulangan dan Rehabilitasi KP2MI, Seriulina Tarigan, dan Direktur Reintegrasi dan Penguatan Keluarga KP2MI, Hadi Wahyuningrum, yang menekankan bahwa pelayanan PMI tidak boleh berhenti pada titik pemulangan, melainkan berlanjut hingga proses reintegrasi dengan keluarga dan masyarakat.
Kehadiran kementerian/lembaga lain seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), hingga Komnas PA dan Komnas Perempuan menunjukkan adanya kesadaran kolektif bahwa perlindungan pekerja migran memiliki dimensi multidisipliner. Perencana Ahli Madya Kementerian PPA, Ratih Rachmawati, menyoroti pentingnya pengawasan sejak proses keberangkatan di tingkat desa, agar warga berangkat secara prosedural dan terhindar dari masalah hukum maupun sosial di negara tujuan. Hal ini sejalan dengan kebutuhan memperkuat edukasi masyarakat di akar rumput.
Selain itu, Ketua Umum Komnas PA, Agustinus Sirait, menekankan bahwa perlindungan tidak hanya menyasar pekerja migran, tetapi juga anak-anak dan keluarga yang ditinggalkan. Bagi sebagian PMI, keberangkatan ke luar negeri tidak selalu berakhir dengan keberhasilan, sehingga perlu sistem dukungan yang mampu menjaga ketahanan keluarga. Agustinus juga menambahkan pentingnya integrasi data lintas lembaga agar pemerintah dapat menyusun program yang lebih tepat sasaran. Menanggapi hal tersebut, Wahyudi Putra menegaskan pentingnya kolaborasi tidak hanya dalam bentuk program, tetapi juga dalam pengelolaan data sebagai dasar perumusan kebijakan.
Upaya perlindungan PMI tidak hanya berhenti pada aspek hukum dan sosial, tetapi juga mencakup dimensi ideologis. Dalam hal ini, Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri bekerja sama dengan KP2MI menyelenggarakan Sosialisasi Wawasan Kebangsaan (Sosbang) bagi calon pekerja migran. Kegiatan ini berlangsung pada 12–14 dan 19 Agustus 2025, diikuti oleh 545 orang calon PMI. Materi yang diberikan menekankan pencegahan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Peserta dibekali pemahaman tentang pola perekrutan radikalisme, strategi menolak ajakan, serta penegasan pentingnya Empat Konsensus Dasar Bangsa sebagai benteng ideologis.
Program ini menjadi penting karena pekerja migran kerap menghadapi kerentanan sosial di negara tujuan, termasuk potensi terpapar paham radikal. Dengan adanya sosialisasi ini, para PMI tidak hanya berangkat dengan keterampilan kerja, tetapi juga dengan bekal ideologi kebangsaan yang kuat. Menariknya, di akhir kegiatan, para peserta menyatakan komitmen menjadi Duta Pencegahan di negara tujuan masing-masing. Komitmen ini bukan sekadar simbolis, melainkan bentuk nyata peran PMI sebagai agen diplomasi sosial dan penjaga nama baik bangsa di luar negeri.
Langkah-langkah yang dilakukan KP2MI bersama mitra strategis menunjukkan paradigma baru dalam tata kelola pekerja migran: dari sekadar penyediaan tenaga kerja menjadi perlindungan holistik yang mencakup aspek hukum, sosial, psikologis, hingga ideologis. Pekerja migran tidak lagi dipandang hanya sebagai penghasil devisa, melainkan aset bangsa yang harus dilindungi dan diberdayakan.
Pada akhirnya, keberhasilan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepulangan, rehabilitasi, dan reintegrasi bagi PMI akan sangat bergantung pada konsistensi implementasi di lapangan. Peraturan yang sedang dirancang diharapkan tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi benar-benar hadir sebagai payung hukum yang menjamin perlindungan komprehensif bagi para pahlawan devisa ini.
Dengan demikian, kehadiran regulasi baru, sinergi lintas kementerian/lembaga, serta penguatan wawasan kebangsaan bagi calon PMI menjadi pijakan kokoh dalam memastikan bahwa pekerja migran Indonesia dapat berangkat, bekerja, dan kembali dengan selamat serta bermartabat. Lebih dari itu, mereka juga membawa misi mulia sebagai penjaga nilai persatuan bangsa di kancah global.
)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik