Oleh: Bara Winatha*)
Fenomena judi daring (judol) di Indonesia kini menjadi persoalan serius yang menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan hukum. Korban dari praktik ini tidak hanya mengalami kerugian finansial, tetapi juga terjerat dalam lingkaran pinjaman online ilegal, tekanan psikologis, hingga kehancuran rumah tangga. Menyadari ancaman besar yang ditimbulkan, pemerintah bersama lembaga terkait, akademisi, hingga kelompok masyarakat sipil bergerak serentak dengan strategi lintas sektor.
Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengatakan bahwa secara hukum Bank Indonesia memegang kewenangan mengatur dan mengawasi sistem pembayaran nasional. Dalam konteks pemberantasan judi daring, pengawasan yang ketat terhadap kanal pembayaran ritel seperti dompet digital, kode respons cepat (QRIS), dan nomor rekening virtual sangat krusial. Kanal-kanal ini sering dimanfaatkan sindikat sebagai jalur penyamaran setoran. Menurutnya, Aturan yang diterbitkan Bank Indonesia tahun 2024 sudah memperkuat standar kepatuhan bagi penyedia jasa pembayaran non-bank, namun efektivitasnya sangat bergantung pada disiplin implementasi oleh seluruh penyelenggara.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sindikat judi daring kerap berpindah jalur ketika bank memperketat rekening nasabah. Mereka menggunakan pedagang ‘boneka’ untuk mengumpulkan setoran melalui QRIS atau rekening virtual, lalu menyalurkannya ke rekening pengepul. Karena transaksi ritel berjalan dalam hitungan detik, tanpa sistem analitik anomali yang proaktif, penjahat dapat dengan mudah memecah setoran kecil lalu menggabungkannya kembali dalam jumlah besar. Oleh karena itu, Bank Indonesia memastikan seluruh penyelenggara menerapkan fitur manajemen risiko proaktif, termasuk kemampuan menolak transaksi yang terindikasi ganjil secara otomatis.
Selain penguatan sistem pembayaran, upaya pemberantasan judi daring juga difokuskan pada literasi keuangan masyarakat, khususnya generasi muda yang rentan menjadi korban. Kepala Bagian Pengawasan Edukasi dan Perlindungan Konsumen (PEPK) dan Literasi Manajemen Satgas (LMS) OJK Kepri, Muhammad Lutfi, mengatakan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan yang harus dibekali literasi keuangan agar tidak mudah terjebak janji keuntungan instan. Dalam dua tahun terakhir, ratusan laporan terkait pinjaman online ilegal, penipuan investasi, hingga judi daring masuk ke Satgas PASTI OJK Kepri melalui Indonesia Anti Scam Center. Sebagian besar korbannya adalah mahasiswa dan pelajar yang awalnya hanya mencoba-coba, tetapi akhirnya kecanduan hingga rela berutang lewat pinjol untuk terus bermain judi daring.
Lutfi menegaskan bahwa risiko dari fenomena ini bukan hanya kehilangan uang, tetapi juga tekanan psikologis dan sosial. Banyak anak muda yang akhirnya harus menanggung beban berat akibat terlilit utang, kehilangan kepercayaan diri, hingga depresi. Karena itu, OJK menginisiasi program edukasi di kampus-kampus untuk melahirkan ‘duta kata’, yakni mahasiswa yang dapat mengedukasi lingkungannya mengenai penggunaan layanan keuangan yang legal dan logis. Menurutnya, pendekatan kampus adalah langkah strategis karena mahasiswa memiliki daya pengaruh besar terhadap masyarakat luas.
Di sisi lain, Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) juga mengambil peran penting dalam mengoordinasikan langkah pemerintah di tingkat nasional. Asisten Deputi Koordinasi Pelindungan Data dan Transaksi Elektronik Kemenko Polkam, Syaiful Garyadi, mengatakan bahwa pemberantasan judi daring menjadi salah satu fokus utama desk di Kemenko Polkam dengan laporan evaluasi mingguan langsung kepada Menko Polkam Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan. Salah satu strategi yang ditempuh adalah memperkuat teknologi pemblokiran konten ilegal serta menyusun regulasi penggunaan Virtual Private Network (VPN) yang kerap digunakan masyarakat untuk mengakses situs terlarang.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sejauh ini telah melakukan pemblokiran 5.000 hingga 9.000 konten ilegal setiap pekan. Namun, tantangan muncul karena situs-situs baru kerap bermunculan kembali, sehingga upaya pemblokiran terasa seperti pemadam kebakaran. Oleh sebab itu, Kemenko Polkam menilai diperlukan sistem pemblokiran yang lebih efektif dan aturan yang jelas mengenai penggunaan VPN. Tanpa regulasi, VPN tetap akan menjadi celah bagi masyarakat untuk mengakses konten judi daring maupun pornografi.
Kolaborasi lintas otoritas juga menjadi hal yang krusial karena masalah judi daring bersifat multidimensi. Bank Indonesia berwenang mengatur sistem pembayaran, Otoritas Jasa Keuangan mengawasi perbankan, sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bertugas mendeteksi aliran dana mencurigakan. Sementara itu, Kemenko Polkam dan Komdigi bergerak di ranah regulasi serta teknologi pemblokiran konten. Aliran dana perjudian harus benar-benar padam, pengawasan antar-otoritas ini harus berjalan bersamaan dan data dari PPATK harus mengalir secara waktu nyata ke Bank Indonesia maupun OJK.
Berbagai langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak tinggal diam. Melalui kerangka hukum yang sudah ada, Bank Indonesia memiliki semua instrumen untuk memastikan kanal pembayaran ritel tidak lagi menjadi jalan tol bagi aliran uang perjudian. Pentingnya membangun literasi keuangan yang kuat di kalangan generasi muda menjadi hal yang tak kalah penting agar mereka tidak menjadi korban berikutnya. Sedangkan di sektor teknologi, regulasi VPN menjadi langkah yang strategis untuk menutup celah yang dimanfaatkan sindikat.
Dengan kombinasi strategi pengawasan sistem pembayaran, edukasi masyarakat, serta pemblokiran konten digital, pemerintah optimis dapat menekan praktik judi daring yang meresahkan. Keberhasilan akan sangat bergantung pada konsistensi implementasi dan koordinasi lintas sektor. Tujuan utama dari semua upaya ini adalah melindungi masyarakat, khususnya generasi muda, dari jeratan judi daring yang dapat menghancurkan masa depan mereka.
*)Penulis merupakan pengamat sosial dan kemasyarakatan