Oleh : Aksara Dwi Wijayanto*)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu kebijakan prioritas pemerintah yang patut diapresiasi. Kehadiran program ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga memberi perhatian serius pada pembangunan manusia. Pemerintah berkomitmen agar generasi muda Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan produktif, sehingga siap menghadapi persaingan di masa depan.
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto menyampaikan bahwa kepala desa memiliki peran penting dalam menyukseskan MBG. Ia menyatakan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesungguhan pemerintah desa dalam mengelolanya. Yandri juga menekankan bahwa desa-desa harus menjadi pemasok utama bahan pangan yang digunakan dalam MBG, sehingga perputaran ekonomi dapat kembali ke masyarakat desa. Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa pendekatan yang ditawarkan pemerintah bukan hanya menyediakan makanan sehat bagi anak-anak, tetapi sekaligus memperkuat kemandirian desa.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah menempatkan desa bukan sekadar sebagai penerima manfaat, melainkan sebagai aktor utama dalam rantai penyediaan pangan. Dengan mendorong desa menjadi pemasok utama, pemerintah secara tidak langsung membangun ekosistem ekonomi lokal yang lebih mandiri. Pola ini memberi keuntungan ganda, yaitu anak-anak sekolah memperoleh asupan gizi yang lebih terjamin dan para petani serta pelaku usaha desa memperoleh pasar yang pasti bagi produk mereka. Strategi tersebut pada akhirnya memperkuat desa sebagai pilar kedaulatan pangan nasional.
Sementara itu, Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menyampaikan bahwa program ini merupakan wujud nyata kepedulian negara terhadap masa depan anak-anak bangsa. Ia menilai bahwa MBG akan membentuk generasi yang sehat, kuat, dan berdaya saing. Ia juga memberikan perhatian khusus terhadap isu mutu dan kehalalan makanan, menegaskan bahwa apabila terdapat keluhan terkait peralatan atau bahan yang digunakan, masyarakat dapat melaporkannya kepada otoritas terkait agar segera diperbaiki. Pandangan ini mencerminkan kesungguhan pemerintah memastikan bahwa MBG dikelola dengan transparan dan penuh tanggung jawab, sehingga masyarakat merasa tenang dan percaya.
Di Papua, Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Kedaulatan NKRI, Lenis Kogoya, menekankan bahwa pelaksanaan MBG harus menyesuaikan dengan kebutuhan lokal. Ia menyampaikan bahwa di wilayah pesisir Papua, sumber karbohidrat utama berasal dari sagu, sedangkan di pegunungan lebih banyak menggunakan ubi. Menu MBG di wilayah tersebut, menurutnya, akan disesuaikan dengan bahan pangan lokal dan dimasak oleh mama-mama Papua, sehingga manfaat ekonomi bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.
Pelibatan masyarakat adat dalam program ini sangat penting agar tidak ada ruang bagi penyebaran isu negatif atau hoaks, seperti tuduhan berlebihan tentang adanya niat merugikan masyarakat Papua. Dari sini dapat dipahami bahwa pendekatan kultural yang dilakukan pemerintah bukan hanya memperkuat penerimaan program, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan di kalangan masyarakat setempat. MBG di Papua bukan sekadar soal gizi, tetapi juga pengakuan atas kearifan lokal dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan.
Terlihat jelas bahwa MBG dirancang sebagai program multidimensi. Tidak hanya memberi makan siang bergizi bagi peserta didik, tetapi juga menyatukan elemen desa, sekolah, tokoh agama, dan masyarakat adat. Pemerintah sadar betul bahwa kualitas sumber daya manusia tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial ekonomi di sekitarnya. Oleh sebab itu, MBG harus dijalankan dengan semangat kolaborasi. Hal ini menunjukkan bahwa MBG bukan program seragam yang kaku, melainkan kebijakan fleksibel yang menyesuaikan dengan konteks masing-masing daerah.
Pelaksanaan MBG juga memberi pesan bahwa pembangunan manusia harus dimulai dari aspek yang paling dasar, yaitu gizi yang seimbang. Generasi yang lapar tidak mungkin bisa belajar dengan baik, apalagi berkompetisi secara global. Oleh karena itu, pemerintah menganggap program ini sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar kegiatan karitatif sesaat. Investasi ini diharapkan menghasilkan bonus demografi yang benar-benar berkualitas, dengan anak-anak Indonesia yang sehat, memiliki kecerdasan akademik, serta berdaya saing di dunia kerja.
Dalam perspektif sosial, MBG juga mencerminkan hadirnya negara di tengah masyarakat. Selama ini, masalah gizi sering kali dianggap sebagai urusan keluarga masing-masing. Namun, melalui MBG, negara menunjukkan kepeduliannya secara langsung dengan mengalokasikan anggaran dan menyiapkan sistem distribusi yang terukur. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh meninggalkan aspek kemanusiaan, terutama pemenuhan gizi anak-anak.
Keberhasilan MBG juga bergantung pada sinergi antar lembaga. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, perangkat desa, sekolah, lembaga keagamaan, hingga komunitas adat harus berjalan beriringan. Kolaborasi lintas sektor inilah yang akan menjamin program ini tepat sasaran, efektif, dan berkelanjutan. MBG tidak boleh dipandang sebagai proyek sesaat, melainkan sebagai gerakan nasional untuk memperkuat fondasi bangsa. Oleh karena itu, dukungan masyarakat sangat dibutuhkan, baik dalam bentuk partisipasi langsung maupun sikap positif dalam mendukung kebijakan pemerintah. Dengan sinergi yang kuat, MBG akan benar-benar menjadi tonggak lahirnya generasi emas Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif.
)* Penulis Merupakan Pengamat Kebijakan Pemerintah